Rabu, 22 Mei 2013



Nama    :  ARMAN. A



Jurusan :  Ilmu Pemerintahan




PT         :  Stisip Biges Polman

 






Politik dalam militer


Sebelum kita membahas tentang “politik dalam militer” terlebih dahulu kita akan mencoba mendefenisikan apa yang disebit dengan politik. Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan Negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Ditinjau dari segi etimologis kata politik bermula dari pemikiran Aristoteles. Ia memulai pembahasan ilmu politik pertama kali dalam bukunya politics yang ditulis pada tahun 335 SM. Dalam bukunya beliau berpendapat bahwa “ secara alamiah manusia merupakan makhluk yang berpolitik”. Karena itu manusia disebut “ Zoon Politikon”, atau “ man is by nature a political animal” . Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.


            Sebagai mana dikemukakan diatas bahwa setiap manusia pada dasarnya berpolitik maka dari itu kita akan mencoba membahas tentang politik yang ada dalam miter itu sendiri. Pada dasarnya keinginan militer dalam politik selalu mendapat pertentangan dari masyatakat sipil, sepanjang politik militer tetap mengarah kepada penguasaan dengan menggunakan kekerasan. Tentang politik militer ini, seseorang pengamat militer, Sayidiman S, pernah mengatakan bahwa militer dalam politik adalah niscaya. Namun keinginan militer berpolitik akan selalu mendapat penentang dari masyarakat sipil.


            Sebenarnya ini bukan anomali karena semangat berkarya manusia tidak pernah dibatasi oleh militer ataupun masyarakat sipil itu sendiri. Dalam hubungan bagaimana orang militer memperlakukan dunia politik, selayaknya tidak kejam seperti apa yang telah diupayakan para reformis di Indonesia bahwa militer harus pulang kebarak. Namun yang perlu ditegaskan kepada militer dalam hak politiknya adalah apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.


            Pembatasan atau pemberian koridor yang jelas tentang yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan militer pada saat berpolitik tersebut sangat diperlukan. Tentu saja kekeliruan bersikap seperti tiu akan sangat membahayakan mengingat militer memilki massa yang solid, kekuatan fisik dan senjata. Kekeliruan bersikap pada militer seringkali akan masuk pada situasi dilematis ketika saling berhadapan dengan masyarakat sipil. Dan dalam situasi seperti itu seorang militer tidak akan gampang menanggalkan senjata dan kepangkatan untuk kemudian berhadapan dengan masyarakat sipil sebagai sesame sipil. Yang terjadi biasanya justru menghadapi masyarakat sipil dengan segala kekuatan dan kekuasaan sebagai militer.

Namun demikian dengan tidak bermaksud melarang hak politik militer tersebut, perlu diberikan batasan yang jelas agar ketika suatu hari militer militer diporbolehkan lagi mengikuti politik praktis, tidak keluar dari koridor yang telah disediakan. Beberapa hal yang harus menjadi pegangan para anggota militer adalah ;


Ø  Militer memiliki senjata. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan faitacompli terhadap suatu jenis kekuasaan.


Ø  tidak boleh berpihak dan berpartai. Keberpihakan yang dimaksud dalam hal ini keberpihakan terhadap partai tertentu. Dikhawatirkan akan menggunakan kekuasaan dan kekuatan dalam memuluskan jalan partai yang didukungnya. Dan tentu saja hal ini sangat membahayakan, misalnya militer aktif ditingkat kodim suatu daerah dan mendukung partai politik X, dan didaerah lain mendukung partai politik Y. Bisa dibanyangkan apa yang akan terjadi bila partai X bahwa suaranya akan berkurang karena adanya partai Y atau sebaliknya.


Ø  Penanggalan pangkatnya ketika berjalan kekotak pemilu. Ini sebenarnya penghargaan terhadap hak sipil dari anggota militer yang aktif tersebut, bukan berarti pengebirian hak militer aktif untuk berpolitik. Tentu saja pada kondisi tertentu seorang militer aktif yang berjalan kekotan pemilu masih memakai atribut kepangkatannya akan memunculkan kekhawatiran pada masyarakat sipil terutama bila mereka memiliki pilihan yang berbeda dengannya.


Ø  Militer dan tugas kepolitika, memastikan adanya pemerintahan dan republik. Diperbolehkan kembali kepada “ke rakyat” apabila rezim yang berkuasa menghianati undang-undang dan konstitusi. Menghadapi kondisi seperti ini juga tidak gampang, terbukti dibeberapa Negara dimana militer salah menentukan sikap ketika terjadi hura-hura politik. Ketidak tepatan mengambil sikap dari militer tersebut pada akhirnya sama saja yaitu dihadapkan pada situasi dimana harus menghadapi masyarakat sipil dengan segala kesuasaan dan kekuatan sebagai militer. Hasilnya pertumpaha darah tidak bisa dihindarkan, dan masyarakat sipil akan benar-benar sangat dirugikan karena menjadi korban dari kebrutalan militer. Dalam konteks kekhawatiran seperti inilah maka militer aktif tidak boleh ikut aktif dalam politik atau berpolitik praktis.


Pada poin terakhir, militer sebenarnya memiliki pilihan taat pada atasannya dalam hal ini eksekutif yang mengesahkan dan menempatkan jabatannya. Bisa juga taat kepada Negara, dalam arti rakyat keseluruhan. Dalam sejarahnya, peran politik itu dilematis, namun juga sangat strategis. Dimana dalam arti militer merupakan penentu politik saat Negara dalam keadaan genting.


Gerakan 1998 berhasil menggulingkan Soeharto, namun gagal membendung terkonsolidasinya kembali kekuatan militer. Militerisme tetap hidup aman, secara ekonomi maupun politik. Tak heran bila praktek-praktek premanisme juga tumbuh subur karena aparat kepolisian, militer, beserta pemerintah, membiarkan keberadaannya. Demikian pula pemerintah, tak pernah sanggup tegas pada kekuatan militer, mereka tunduk sepenuhnya. Sehingga menjadi wajar jika para jendral pelanggar HAM tidak tersentuh oleh hukum dan terus leluasa ikut pemilu dan mencalonkan diri jadi presiden, menjadi orang-orang pertama di belakang pendirian partai yang ikut pemilu, dst.


Serangan beberapa anggota Kopassus ke Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menembak. 4 orang tahanan tak bersenjata, adalah tindakan sabotase hukum yang keji. Dalam kaidah perang saja, tidak diperbolehkan pembunuhan/penembakan terhadap yang sedang ditawan dan tidak bersenjata. Demikian pula yang baru saja terjadi di Polres Poso, Sulawesi Tengah, seorang tahanan perempuan diperkosa oleh Brigadir kepala dan dua orang rekannya.  Inilah dua potret tentara dan polisi Indonesia yang tidak banyak bedanya, walau berlagak bersiteru dalam wacana.


Itulah beberapa gambaran tentang politik dalam militer dimana militer memang semestinya mengembalikan kepercayaan rakyat tentang apa yang terjadi, n haru profesionalisme dalam menjalankan tanggung jawab sebagai keamanan dan pertahana Negara dalam hal ini rakyat.


1 komentar: