Nama : ARMAN. A
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
PT : Stisip Biges Polman
Politik dalam militer
Sebelum
kita membahas tentang “politik dalam
militer” terlebih dahulu kita akan mencoba mendefenisikan apa yang disebit
dengan politik. Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis
yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang
menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang
berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan Negara dan
politikos yang berarti kewarganegaraan. Ditinjau dari segi etimologis kata
politik bermula dari pemikiran Aristoteles. Ia memulai pembahasan ilmu politik
pertama kali dalam bukunya politics yang ditulis pada tahun 335
SM. Dalam bukunya beliau berpendapat bahwa “ secara alamiah manusia merupakan
makhluk yang berpolitik”. Karena itu manusia disebut “ Zoon Politikon”, atau “ man
is by nature a political animal” . Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan
bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang
atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat
politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya
ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia
berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang
lain agar menerima pandangannya.
Sebagai mana dikemukakan diatas
bahwa setiap manusia pada dasarnya berpolitik maka dari itu kita akan mencoba
membahas tentang politik yang ada dalam miter itu sendiri. Pada dasarnya
keinginan militer dalam politik selalu mendapat pertentangan dari masyatakat
sipil, sepanjang politik militer tetap mengarah kepada penguasaan dengan
menggunakan kekerasan. Tentang politik militer ini, seseorang pengamat militer,
Sayidiman S, pernah mengatakan bahwa militer dalam politik adalah niscaya.
Namun keinginan militer berpolitik akan selalu mendapat penentang dari masyarakat
sipil.
Sebenarnya ini bukan anomali karena
semangat berkarya manusia tidak pernah dibatasi oleh militer ataupun masyarakat
sipil itu sendiri. Dalam hubungan bagaimana orang militer memperlakukan dunia
politik, selayaknya tidak kejam seperti apa yang telah diupayakan para reformis
di Indonesia bahwa militer harus pulang kebarak. Namun yang perlu ditegaskan
kepada militer dalam hak politiknya adalah apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh.
Pembatasan atau pemberian koridor
yang jelas tentang yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan militer pada saat
berpolitik tersebut sangat diperlukan. Tentu saja kekeliruan bersikap seperti
tiu akan sangat membahayakan mengingat militer memilki massa yang solid,
kekuatan fisik dan senjata. Kekeliruan bersikap pada militer seringkali akan
masuk pada situasi dilematis
ketika saling berhadapan dengan masyarakat sipil. Dan dalam situasi seperti itu
seorang militer tidak akan gampang menanggalkan senjata dan kepangkatan untuk
kemudian berhadapan dengan masyarakat sipil sebagai sesame sipil. Yang terjadi
biasanya justru menghadapi masyarakat sipil dengan segala kekuatan dan
kekuasaan sebagai militer.
Namun
demikian dengan tidak bermaksud melarang hak politik militer tersebut, perlu
diberikan batasan yang jelas agar ketika suatu hari militer militer
diporbolehkan lagi mengikuti politik praktis, tidak keluar dari koridor yang
telah disediakan. Beberapa hal yang harus menjadi pegangan para anggota militer
adalah ;
Ø Militer
memiliki senjata. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan faitacompli terhadap suatu jenis kekuasaan.
Ø tidak boleh
berpihak dan berpartai. Keberpihakan yang dimaksud dalam hal ini keberpihakan
terhadap partai tertentu. Dikhawatirkan akan menggunakan kekuasaan dan kekuatan
dalam memuluskan jalan partai yang didukungnya. Dan tentu saja hal ini sangat
membahayakan, misalnya militer aktif ditingkat kodim suatu daerah dan mendukung
partai politik X, dan didaerah lain mendukung partai politik Y. Bisa
dibanyangkan apa yang akan terjadi bila partai X bahwa suaranya akan berkurang
karena adanya partai Y atau sebaliknya.
Ø Penanggalan
pangkatnya ketika berjalan kekotak pemilu. Ini sebenarnya penghargaan terhadap
hak sipil dari anggota militer yang aktif tersebut, bukan berarti pengebirian
hak militer aktif untuk berpolitik. Tentu saja pada kondisi tertentu seorang
militer aktif yang berjalan kekotan pemilu masih memakai atribut kepangkatannya
akan memunculkan kekhawatiran pada masyarakat sipil terutama bila mereka
memiliki pilihan yang berbeda dengannya.
Ø Militer dan
tugas kepolitika, memastikan adanya pemerintahan dan republik. Diperbolehkan
kembali kepada “ke rakyat” apabila rezim yang berkuasa menghianati
undang-undang dan konstitusi. Menghadapi kondisi seperti ini juga tidak
gampang, terbukti dibeberapa Negara dimana militer salah menentukan sikap
ketika terjadi hura-hura politik. Ketidak tepatan mengambil sikap dari militer
tersebut pada akhirnya sama saja yaitu dihadapkan pada situasi dimana harus
menghadapi masyarakat sipil dengan segala kesuasaan dan kekuatan sebagai militer.
Hasilnya pertumpaha darah tidak bisa dihindarkan, dan masyarakat sipil akan
benar-benar sangat dirugikan karena menjadi korban dari kebrutalan militer.
Dalam konteks kekhawatiran seperti inilah maka militer aktif tidak boleh ikut
aktif dalam politik atau berpolitik praktis.
Pada poin
terakhir, militer sebenarnya memiliki pilihan taat pada atasannya dalam hal ini
eksekutif yang mengesahkan dan menempatkan jabatannya. Bisa juga taat kepada
Negara, dalam arti rakyat keseluruhan. Dalam sejarahnya, peran politik itu
dilematis, namun juga sangat strategis. Dimana dalam arti militer merupakan
penentu politik saat Negara dalam keadaan genting.
Gerakan 1998 berhasil menggulingkan
Soeharto, namun gagal membendung terkonsolidasinya kembali kekuatan militer.
Militerisme tetap hidup aman, secara ekonomi maupun politik. Tak heran bila
praktek-praktek premanisme juga tumbuh subur karena aparat kepolisian, militer,
beserta pemerintah, membiarkan keberadaannya. Demikian pula pemerintah, tak
pernah sanggup tegas pada kekuatan militer, mereka tunduk sepenuhnya. Sehingga
menjadi wajar jika para jendral pelanggar HAM tidak tersentuh oleh hukum dan
terus leluasa ikut pemilu dan mencalonkan diri jadi presiden, menjadi
orang-orang pertama di belakang pendirian partai yang ikut pemilu, dst.
Serangan beberapa anggota Kopassus ke
Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menembak. 4 orang tahanan tak bersenjata,
adalah tindakan sabotase hukum yang keji. Dalam kaidah perang saja, tidak
diperbolehkan pembunuhan/penembakan terhadap yang sedang ditawan dan tidak
bersenjata. Demikian pula yang baru saja terjadi di Polres Poso, Sulawesi
Tengah, seorang tahanan perempuan diperkosa oleh Brigadir kepala dan dua orang
rekannya. Inilah dua potret tentara dan polisi Indonesia yang tidak
banyak bedanya, walau berlagak bersiteru dalam wacana.
Itulah
beberapa gambaran tentang politik dalam militer dimana militer memang semestinya
mengembalikan kepercayaan rakyat tentang apa yang terjadi, n haru
profesionalisme dalam menjalankan tanggung jawab sebagai keamanan dan pertahana
Negara dalam hal ini rakyat.
tolong dishare ya...
BalasHapus