Menggugat Politik Militer Indonesia
Oleh Arman
Pengantar Gerakan 1998 berhasil menggulingkan Soeharto, namun gagal membendung terkonsolidasinya kembali kekuatan militer. Militerisme tetap hidup aman, secara ekonomi maupun politik. Tak heran bila praktek-praktek premanisme juga tumbuh subur karena aparat kepolisian, militer, beserta pemerintah, membiarkan keberadaannya. Demikian pula pemerintah, tak pernah sanggup tegas pada kekuatan militer, mereka tunduk sepenuhnya. Sehingga menjadi wajar jika para jendral pelanggar HAM tidak tersentuh oleh hukum dan terus leluasa ikut pemilu dan mencalonkan diri jadi presiden, menjadi orang-orang pertama di belakang pendirian partai yang ikut pemilu, dst.
Serangan beberapa anggota Kopassus ke Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menembak. 4 orang tahanan tak bersenjata, adalah tindakan sabotase hukum yang keji. Dalam kaidah perang saja, tidak diperbolehkan pembunuhan/penembakan terhadap yang sedang ditawan dan tidak bersenjata. Demikian pula yang baru saja terjadi di Polres Poso, Sulawesi Tengah, seorang tahanan perempuan diperkosa oleh Brigadir kepala dan dua orang rekannya. Inilah dua potret tentara dan polisi Indonesia yang tidak banyak bedanya, walau berlagak bersiteru dalam wacana.
Selamat dari Reformasi
Politik militer Indonesia, sebagai fondasi Orde baru, tidak pernah mati terkubur meski Soeharto jatuh. Salah satu amanat reformasi, sekaligus syarat agar konsolidasi demokrasi bisa berjalan, adalah lepas dari cengkeraman militer dengan menuntut penghapusan Dwi Fungsi ABRI, termasuk pembubaran struktur teritorial militer (komando teritorial). Atas desakan gerakan rakyat, dikeluarkanlah TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa Dwi Fungsi ABRI telah berakibat pada penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI, sehingga demokrasi tidak berkembang di Indonesia. Namun, pada faktanya Dwi Fungsi ABRI masih dibiarkan. Penopang utamanya, komando teritorial, tidak dibubarkan malah ditambah menjadi 12 komando teritorial sejak tahun 1998.
Pembiaran pelanggaran HAM masa lalu inilah yang kemudian berujung pada pengulangan kembali pelanggaran – pelanggaran HAM berikutnya. Impunitas (kekebalan hukum) itu mencapai puncaknya ketika para Jendral pelanggar HAM menolak diperiksa oleh KOMNAS HAM terkait peristiwa Semanggi I, II, Trisakti dan penyelidikan kasus perkosaan perempuan Tionghoa Mei ’98. Para Jendral ini beralasan tim penyidik KOMNAS HAM tidak berwenang melakukan penyelidikan, yang kemudian diperkuat dengan keputusan DPR RI bahwa tidak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa–peristiwa tersebut. Akhirnya, proses Pengadilan HAM sebagaimana diputuskan dalam Undang- Undang No.26/2000, tidak pernah terjadi.
Sehingga Peradilan Militer tetap menjadi yang utama sebagai mekanisme untuk menghukum para tentara pelaku pelanggaran. Peradilan Militer yang tertutup menyebabkan tidak adanya kontrol publik atas proses peradilan yang berlangsung. Salah satu contohnya adalah proses peradilan terhadap terdakwa (Kopassus) pembunuh Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidum Dewan Papua (PDP) Papua yang mati ditembak 11 November 2001. Seluruh terdakwa diadili di pengadilan militer Surabaya dan terbukti bersalah melakukan pembunuhan, namun justru dihukum ringan pada tahun 2001. Ironisnya, mereka justru diberi gelar Pahlawan oleh KSAD. Begitu halnya dengan keterlibatan anggota militer dalam pembunuhan Boss ASABA Group yang juga diperiksa melalui mekanisme peradilan militer. Tidak adanya hukuman atau sanksi yang berat di dalam tubuh peradilan militer, atau bahkan apakah hukuman benar-benar diberikan, memunculkan pertanyaan[1]. Belum lagi dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti pembantaian 1965, pembunuhan Marsinah, Udin, hingga pemaksaan penggunaan kontrasepsi pada perempuan. Bila demikian, bagaimana militer bisa ‘berhenti’ melakukan pelanggaran HAM?
Berikut malah para jendral pelanggar HAM yang mendapatkan promosi jabatan penting. Sjafrie Sjamsoedin yang sebelumnya menjabat Pandam Jaya ketika terjadi tragedi Trisakti dan Mei 1998, justru dipromosikan menjadi Kapuspen TNI di Mabes TNI. Begitu juga dengan AM. Hendropriyono yang diangkat menjadi Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) padahal pada tahun 1989 Hendro memimpin operasi militer di Talang Sari–Lampung yang menimbulkan banyak korban. Kini, masih sering kita lihat praktek-praktek represifitas terhadap kaum tani, rakyat Papua, buruh yang sedang aksi dan lain-lain, atas nama ‘keamanan nasional’. Semakin dilindungi ketika disahkannya UU Anti Terorisme, UU Intelejen, dan berikutnya RUU Kamnas dan Ormas. Dari sini, sesungguhnya tampakjelas dimana pemerintah kita berdiri: mengamankan politik militer masa lalu dan sekarang. Apalagi Presiden SBY sendiri adalah bagian langsung dari struktur politik Orde Baru dan militer serta diduga keras terlibat peristiwa 27 Juli 1996.
Kilas Balik Militer Indonesia
Besarnya kekuatan militer Indonesia bukan jatuh dari langit. Ia lahir dari sejarah pembentuk wataknya saat ini; keji, serakah dan brutal. Dalam sejarahnya, militer Indonesia adalah hasil dari didikan KNIL ((Koninklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda Kerajaan Belanda) dan PETA (Kyōdo Bōei Giyūgun/Tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Namun yang paling dominan adalah didikan dari PETA. Dalam proses revolusi nasional, tentara didikan KNIL terkikis dari didikan profesionalitas tentara versi barat yang mestinya tidak turut campur dalam persoalan politik dan tunduk pada kekuasaan sipil. Lemahnya elit politik nasional dalam berhadapan dengan penjajah Belanda dianggap tidak sanggup menghadapi politik penjajah, tidak tegas, suka berlama-lama bertengkar (berdebat). Karenanya tentara harus terlibat dalam politik, mengambil jalan tengah, atau mengambil dua peran sekaligus, yakni berperan dalam pertahanan negara dan sosial politik. Sementara, tentara didikan Jepang (PETA) dilatih dengan disiplin baja dengan nasionalisme sempit dan fasis. Mereka mengimani bahwa tentara harus menguasai sipil.
Selain tentara didikan KNIL dan PETA, sebenarnya ada laskar-laskar rakyat yang dibentuk oleh rakyat, baik yang secara terbuka maupun bawah tanah. Laskar-laskar rakyat inilah yang sebenarnya memiliki muatan demokratik karena bangkit dari kekuatan rakyat sendiri. Sayang, laskar rakyat ini disingkirkan oleh pemerintah melalui Hatta dengan mengeluarkan kebijakan RERA (Red Proposal dan Rasionalisasi) pada tahun 1949. Kebijakan ini sendiri merupakan kebijakan pesanan Amerika Serikat. Dari sinilah, karakter kerakyatan dari tubuh tentara dihabisi. Tinggallah kini tentara didikan para penjajah yang teguh kemudian dengan konsep Dwi Fungsi ABRInya.
Tahun 1952-1959 adalah periode dimana pemberontakan-pemberontakan terjadi di berbagai daerah di luarJjawa karena merasa pemerintah pusat tidak adil. Pemberontakan ini dimotori oleh para panglima TNI di daerah. Situasi pun semakin parah karena pemberontakan di berbagai daerah ini didukung oleh CIA. Maka, kabinet Ali Sastro Amidjojo memutuskan situasi darurat perang yang memberi ruang bagi militer untuk mengambil alih tampuk kekuasaan. Pemberantasan pemberontakan daerah oleh militer ini (melalui kebijakan situasi darurat negara) kemudian membuat militer semakin yakin bahwa elit politik sipil tidak becus mengurus negara. Dalam situasi darurat ini pula terjadi nasionalisasi perusahaan milik Belanda yang dipelopori oleh buruh yang berafiliasi ke PKI dan PNI. Namun kemudian perusahaan yang dinasionalisasi tersebut diserahkan oleh Presiden Soekarno kepada militer untuk dikelola. Tentu saja ini menjadi pintu gerbang masuknya militer dalam lingkup bisnis yang menjadikannya sebagai pemilik modal besar di Indonesia. Demikianlah hingga semakin kuat posisi militer baik di dunia politik maupun ekonomi.
Secara politik, sejak fase 1960-an, kedudukan militer terus menguat. PKI adalah salah satu saingan terberat militer. Sementara secara ekonomi, militer semakin meraja. Setelah diberi wewenang untuk mengelola perusahaan yang telah dinasionalisasi, para petinggi militer mengembangkan perusahaan-perusahaan baru, baik di bidang perkebunan, pertambangan, maupun perbankan. Dari sumber inilah, militer memperoleh dana untuk membiayai institusi militer guna memperkaya diri dan jajarannya sendiri.
Pembantaian 1965 adalah puncak dari kekuatan tentara menghabisi gerakan rakyat Indonesia. Mereka membantai rakyat yang tidak bersenjata, membuang rakyat ke tahanan tanpa proses peradilan, memisahkan rakyat dari keluarganya dan menyisakan trauma teramat dalam dari generasi ke generasi. Militer berhasil mengambil alih kekuasaan, menghabisi gerakan rakyat, dan menancapkan kekuatan modal asing di bumi pertiwi. Inilah hadiahnya: UU PMA disahkan setelah sebelumnya Freeport menandatangangi kontrak karya pertama di tengah rakyat Papua yang saat itu belum pun berintegrasi dengan Indonesia.
Berdasarkan penelitian ICW, terdapat tiga jenis bisnis militer. Pertama, bisnis formal dimana TNI terlibat dalam bisnis secara resmi lewat koperasi dan yayasan. Bisnis dalam bentuk yayasan pun struktur pengurusnya mengikuti struktur komando militer. Bisnis dalam bentuk yayasan ini dimiliki militer dari instansi militer paling atas hingga bawah, seperti KODAM yang memiliki yayasan sendiri. Begitu juga dengan bisnis dalam bentuk koperasi. Kedua, bisnis informal, dimana militer tidak terlibat sebagai institusi namun secara individual. Individu militer yang sudah tidak aktif lagi atau pensiun mendirikan perusahaannya sendiri, padahal hal itu sudah mereka rintis semenjak menjabat dalam institusi militer. Contohnya adalah Kelompok Usaha Nugra Santana milik Letjen TNI Purn.Ibnu Sutowo, Kelompok Usaha Krama Yudha milik Brigjen TNI Sjarnoebi Said), dll. Ketiga, criminal economy (ekonomi kriminal), yang berupa perlindungan bagi pelaku bisnis gelap, yaitu bisnis narkoba, perjudian besar, jaminan keamanan perusahaan, dll. Ketiga jenis bisnis militer tersebut tidak terpisah satu sama lain dan saling berjalin menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang besar, seiring dengan besarnya kekuasaan mereka di bidang politik.
Jangan Titipkan Dendeng Pada Anjing
Dari pemaparan di atas, jelas militer dan elit politik tidak bisa diharapkan untuk memberi keadilan pada rakyat. Kedua kekuatan tersebut adalah kekuatan yang setia pada dirinya sendiri dan pada para tuan modal yang memberi makan mereka. Maka bila kita hendak mengenyahkan militerisme dan kapitalisme yang memeliharanya, tidak bisa kita sekutukan perjuangan rakyat dengan kekuatan militer dan elit politik beserta partai–partai politiknya. Bila tidak, maka perjuangan rakyat kembali dihancurkan sebagaimana pada tahun 1998. Ketika rakyat menyabung nyawa demi runtuhnya Orde Baru, para elit politik tersebut justru bersembunyi di Ciganjur dan bersepakat bahwa Dwi Fungsi ABRI cukup dihilangkan 6 tahun ke depan saja. Mereka pula yang mengantarkan kekuatan militer kembali di panggung politik.
Menghadapi kekuatan penopang kapitalisme ini jelas tidak mudah. Gerakan 1998 memang telah membangun kesadaran dalam hal metode perjuangan seperti berorganisasi, mogok, aksi massa, namun belum dapat memberi referensi untuk membangun sistem pemerintahan baru dari, oleh, dan untuk rakyat. Gelombang aksi massa tersebut tidak bisa berbuah menjadi dewan-dewan rakyat sebagai embrio pemerintahan rakyat. Maka, perjuangan ke arah pembentukan pemerintahan rakyat yang sosialis harus dirintis lagi dengan membagun alat-alat politik rakyat dan Partai Sosialis. Sebuah alat perjuangan alternatif bagi rakyat, yang tidak hanya bicara soal upah murah, penggusuran, pendidikan mahal, namun lebih dari itu: membangun masyarakat sosialis.
Salah satu tugas utama Partai Sosialis ini adalah terus mengembalikan memori rakyat tentang peran politik militer dalam kapitalisme Indonesia dan membangun pergerakan untuk membuka ruang demokrasi, dengan menghancurkan politik tentara, menyeret para Jenderal ke peradilan HAM. Bila ini tidak bisa kita menangkan, maka perjuangan untuk sosialisme akan semakin sulit dimenangkan.*
Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di buletin Kibar Juang. Bila berminat memiliki edisi cetaknya silakan menghubungi redaksi: kibarjuang@yahoo.com
Referensi
1. Bisnis Militer Mencari Legitimasi, oleh ICW
2. Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia oleh KONTRAS,2003
3. Sang Pandai Api (Memimpin Kebangkitan Kesadaran Massa) oleh Danial Indra Kusuma
4. Tahukah Kamu Ini Alasan Mengapa Soekarno Harus Disingkirkan oleh Asvi; http://www.apakabardunia.com/2013/02/inilah-alasan-mengapa-bung-karno-harus.html
5. Sudah Saatnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001 Dijalankan oleh Asyar; http://asyharstf08.wordpress.com/2012/02/17/sudah-saatnya-dekrit-presiden-23-juli-2001-dijalankan/
6. Sulitnya Menjauhkan TNI dari Politik; http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=580&coid=3&caid=3&gid=2
7. Manifesto Tikus Merah; http://tikusmerah.com/?page_id=211
memang juga kok militer indonesia hanyalah fokus kepada pertahanan fisik negara bukan pada pertahanan ideologi negara dan buktinya bahwa ideologi asing pada masuk...bahkan tak kenal antri seperti antri BBM
BalasHapus