Rabu, 22 Mei 2013



Nama    :  ARMAN. A



Jurusan :  Ilmu Pemerintahan




PT         :  Stisip Biges Polman

 






Politik dalam militer


Sebelum kita membahas tentang “politik dalam militer” terlebih dahulu kita akan mencoba mendefenisikan apa yang disebit dengan politik. Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politeia yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan Negara dan politikos yang berarti kewarganegaraan. Ditinjau dari segi etimologis kata politik bermula dari pemikiran Aristoteles. Ia memulai pembahasan ilmu politik pertama kali dalam bukunya politics yang ditulis pada tahun 335 SM. Dalam bukunya beliau berpendapat bahwa “ secara alamiah manusia merupakan makhluk yang berpolitik”. Karena itu manusia disebut “ Zoon Politikon”, atau “ man is by nature a political animal” . Dengan istilah itu ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik. Aristoteles melihat politik sebagai kecenderungan alami dan tidak dapat dihindari manusia, misalnya ketika ia mencoba untuk menentukan posisinya dalam masyarakat, ketika ia berusaha meraih kesejahteraan pribadi, dan ketika ia berupaya memengaruhi orang lain agar menerima pandangannya.


            Sebagai mana dikemukakan diatas bahwa setiap manusia pada dasarnya berpolitik maka dari itu kita akan mencoba membahas tentang politik yang ada dalam miter itu sendiri. Pada dasarnya keinginan militer dalam politik selalu mendapat pertentangan dari masyatakat sipil, sepanjang politik militer tetap mengarah kepada penguasaan dengan menggunakan kekerasan. Tentang politik militer ini, seseorang pengamat militer, Sayidiman S, pernah mengatakan bahwa militer dalam politik adalah niscaya. Namun keinginan militer berpolitik akan selalu mendapat penentang dari masyarakat sipil.


            Sebenarnya ini bukan anomali karena semangat berkarya manusia tidak pernah dibatasi oleh militer ataupun masyarakat sipil itu sendiri. Dalam hubungan bagaimana orang militer memperlakukan dunia politik, selayaknya tidak kejam seperti apa yang telah diupayakan para reformis di Indonesia bahwa militer harus pulang kebarak. Namun yang perlu ditegaskan kepada militer dalam hak politiknya adalah apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.


            Pembatasan atau pemberian koridor yang jelas tentang yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan militer pada saat berpolitik tersebut sangat diperlukan. Tentu saja kekeliruan bersikap seperti tiu akan sangat membahayakan mengingat militer memilki massa yang solid, kekuatan fisik dan senjata. Kekeliruan bersikap pada militer seringkali akan masuk pada situasi dilematis ketika saling berhadapan dengan masyarakat sipil. Dan dalam situasi seperti itu seorang militer tidak akan gampang menanggalkan senjata dan kepangkatan untuk kemudian berhadapan dengan masyarakat sipil sebagai sesame sipil. Yang terjadi biasanya justru menghadapi masyarakat sipil dengan segala kekuatan dan kekuasaan sebagai militer.

Namun demikian dengan tidak bermaksud melarang hak politik militer tersebut, perlu diberikan batasan yang jelas agar ketika suatu hari militer militer diporbolehkan lagi mengikuti politik praktis, tidak keluar dari koridor yang telah disediakan. Beberapa hal yang harus menjadi pegangan para anggota militer adalah ;


Ø  Militer memiliki senjata. Oleh karena itu, tidak boleh melakukan faitacompli terhadap suatu jenis kekuasaan.


Ø  tidak boleh berpihak dan berpartai. Keberpihakan yang dimaksud dalam hal ini keberpihakan terhadap partai tertentu. Dikhawatirkan akan menggunakan kekuasaan dan kekuatan dalam memuluskan jalan partai yang didukungnya. Dan tentu saja hal ini sangat membahayakan, misalnya militer aktif ditingkat kodim suatu daerah dan mendukung partai politik X, dan didaerah lain mendukung partai politik Y. Bisa dibanyangkan apa yang akan terjadi bila partai X bahwa suaranya akan berkurang karena adanya partai Y atau sebaliknya.


Ø  Penanggalan pangkatnya ketika berjalan kekotak pemilu. Ini sebenarnya penghargaan terhadap hak sipil dari anggota militer yang aktif tersebut, bukan berarti pengebirian hak militer aktif untuk berpolitik. Tentu saja pada kondisi tertentu seorang militer aktif yang berjalan kekotan pemilu masih memakai atribut kepangkatannya akan memunculkan kekhawatiran pada masyarakat sipil terutama bila mereka memiliki pilihan yang berbeda dengannya.


Ø  Militer dan tugas kepolitika, memastikan adanya pemerintahan dan republik. Diperbolehkan kembali kepada “ke rakyat” apabila rezim yang berkuasa menghianati undang-undang dan konstitusi. Menghadapi kondisi seperti ini juga tidak gampang, terbukti dibeberapa Negara dimana militer salah menentukan sikap ketika terjadi hura-hura politik. Ketidak tepatan mengambil sikap dari militer tersebut pada akhirnya sama saja yaitu dihadapkan pada situasi dimana harus menghadapi masyarakat sipil dengan segala kesuasaan dan kekuatan sebagai militer. Hasilnya pertumpaha darah tidak bisa dihindarkan, dan masyarakat sipil akan benar-benar sangat dirugikan karena menjadi korban dari kebrutalan militer. Dalam konteks kekhawatiran seperti inilah maka militer aktif tidak boleh ikut aktif dalam politik atau berpolitik praktis.


Pada poin terakhir, militer sebenarnya memiliki pilihan taat pada atasannya dalam hal ini eksekutif yang mengesahkan dan menempatkan jabatannya. Bisa juga taat kepada Negara, dalam arti rakyat keseluruhan. Dalam sejarahnya, peran politik itu dilematis, namun juga sangat strategis. Dimana dalam arti militer merupakan penentu politik saat Negara dalam keadaan genting.


Gerakan 1998 berhasil menggulingkan Soeharto, namun gagal membendung terkonsolidasinya kembali kekuatan militer. Militerisme tetap hidup aman, secara ekonomi maupun politik. Tak heran bila praktek-praktek premanisme juga tumbuh subur karena aparat kepolisian, militer, beserta pemerintah, membiarkan keberadaannya. Demikian pula pemerintah, tak pernah sanggup tegas pada kekuatan militer, mereka tunduk sepenuhnya. Sehingga menjadi wajar jika para jendral pelanggar HAM tidak tersentuh oleh hukum dan terus leluasa ikut pemilu dan mencalonkan diri jadi presiden, menjadi orang-orang pertama di belakang pendirian partai yang ikut pemilu, dst.


Serangan beberapa anggota Kopassus ke Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menembak. 4 orang tahanan tak bersenjata, adalah tindakan sabotase hukum yang keji. Dalam kaidah perang saja, tidak diperbolehkan pembunuhan/penembakan terhadap yang sedang ditawan dan tidak bersenjata. Demikian pula yang baru saja terjadi di Polres Poso, Sulawesi Tengah, seorang tahanan perempuan diperkosa oleh Brigadir kepala dan dua orang rekannya.  Inilah dua potret tentara dan polisi Indonesia yang tidak banyak bedanya, walau berlagak bersiteru dalam wacana.


Itulah beberapa gambaran tentang politik dalam militer dimana militer memang semestinya mengembalikan kepercayaan rakyat tentang apa yang terjadi, n haru profesionalisme dalam menjalankan tanggung jawab sebagai keamanan dan pertahana Negara dalam hal ini rakyat.


Selasa, 21 Mei 2013

Filsafat Politik

Secara etimologi, istilah filsafat berasal dari bahasa Arab, yaitu falsafah atau juga dari bahasa Yunani yaitu philosophia – philien : cinta dan sophia : kebijaksanaan. Jadi bisa dipahami bahwa filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Dan seorang filsuf adalah pencari kebijaksanaan, pecinta kebijaksanaan dalam arti hakikat.
Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam. Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya.
Seorang Plato mengatakan bahwa : Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran yang asli.
Sedangkan muridnya Aristoteles berpendapat kalau filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Lain halnya dengan Al Farabi yang berpendapat bahwa filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) tentang alam maujud bagaimana hakikat yang sebenarnya. Berikut ini disajikan beberapa pengertian Filsafat menurut beberapa para ahli:
Plato ( 428 -348 SM ) : Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.
Aristoteles ( (384 – 322 SM) : Bahwa kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu umum sekali. Tugas penyelidikan tentang sebab telah dibagi sekarang oleh filsafat dengan ilmu.
Cicero ( (106 – 43 SM ) : filsafat adalah sebagai “ibu dari semua seni “( the mother of all the arts“ ia juga mendefinisikan filsafat sebagai ars vitae (seni kehidupan )
Johann Gotlich Fickte (1762-1814 ) : filsafat sebagai Wissenschaftslehre (ilmu dari ilmu-ilmu , yakni ilmu umum, yang jadi dasar segala ilmu. Ilmu membicarakan sesuatu bidang atau jenis kenyataan. Filsafat memperkatakan seluruh bidang dan seluruh jenis ilmu mencari kebenaran dari seluruh kenyataan.
Paul Nartorp (1854 – 1924 ) : filsafat sebagai Grunwissenschat (ilmu dasar hendak menentukan kesatuan pengetahuan manusia dengan menunjukan dasar akhir yang sama, yang memikul sekaliannya .
Imanuel Kant ( 1724 – 1804 ) : Filsafat adalah ilmu pengetahuan yange menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang didalamnya tercakup empat persoalan.
1.    Apakah yang dapat kita kerjakan ?(jawabannya metafisika )
2.    Apakah yang seharusnya kita kerjakan (jawabannya Etika )
3.    Sampai dimanakah harapan kita ?(jawabannya Agama )
4.    Apakah yang dinamakan manusia ? (jawabannya Antropologi )
Notonegoro: Filsafat menelaah hal-hal yang dijadikan objeknya dari sudut intinya yang mutlak, yang tetap tidak berubah , yang disebut hakekat.
Driyakarya : filsafat sebagai perenungan yang sedalam-dalamnya tentang sebab-sebabnya ada dan berbuat, perenungan tentang kenyataan yang sedalam-dalamnya sampai “mengapa yang penghabisan “.
Sidi Gazalba: Berfilsafat ialah mencari kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran , tentang segala sesuatu yang di masalahkan, dengan berfikir radikal, sistematik dan universal.

Definisi Filsafat Politik
Setelah mengetahui pengertian filsafat dan politik, maka definisi filsafat politik diperoleh melalui gabungan keduanya, yaitu sebagai suatu upaya  untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan politik secara sistematis, logis, bebas, mendalam, serta menyeluruh. Berfilsafat berarti bergulat dengan masalah-masalah dasar manusia dan membantu manusia untuk memecahkannya. Kenyataan ini tentu membawa filsafat pada pertanyaan-pertanyaan tentang tatanan masyarakat secara keseluruhan yang nota bene adalah bidang politik tempat masyarakat bernaung. Dan di situ filsafat muncul sebagai kritik. Dalam upaya kritisnya tersebut, filsafat menuntut agar segala klaim para pelaku politik untuk menata masyarakat dapat dipertanggungjawabkan dengan benar dan tidak membiarkan segala macam kekuasaan menjadi mapan begitu saja. Artinya pelaku-pelaku politik dituntut untuk sungguh-sungguh menjadi pengayom dan pelayan masyarakat banyak. Dan bukan sebaliknya yaitu penindas masyarakat. Di negara-negara modern, penguasa punya tanggung jawab mensejahterakan rakyatnya. Rakyat sejahtera berarti tujuan kebijakan-kebijakan politiknya terlaksana dengan baik. Dengan kata lain, janji-janjinya kepada rakyat terpenuhi.
Filsafat Politik berarti pemikiran-pemikiran yang berkaitan tentang politik. Bidang politik merupakan tempat menerapkan ide filsafat. Ada berbagai macam ide-ide filsafat yang ikut mendorong perkembangan politik modern yaitu liberalisme, komunisme, pancasila, dan lain-lain.
Bagi Plato, filsafat politik adalah upaya untuk membahas dan menguraikan berbagai segi kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep pemikiran tentang manusia dan negara yang baik dan ia juga mempersoalkan cara yang harus ditempuh untuk mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato, manusia dan negara memiliki persamaan hakiki. Oleh karena itu, apabila manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara pun buruk. Apabila negara buruk berarti manusianya juga buruk, artinya negara adalah cerminan mansuia yang menjadi warganya.[1]
Bagi Agustinus, filsafat politik adalah pemikiran-pemikiran tentang negara. Menurutnya negara dibagi 2 (dua) yaitu negara Allah (civitas dei) yang dikenal dengan negra surgawi “kerajaan Allah, dan negara sekuler yang dikenal dengan negara duniawi (civitas terrena). Kehidupan di dalam Negara Allah diwarnai dengan iman, ketaatan, dan kasih Allah. Sedangkan Negara Sekuler “duniawi”, menurutnya identik dengan negara cinta pada diri sendiri atau cinta egois ketidakjujuran, pengmbaran hawa nafsu,
keangkuhan, dosa, dan lain-lain. Dengan jelas bahwa filsafat politik negara Allah Agustinus merupakan penjelmaan negara ideal Plato.[1]
Menurut Machiavelli, filsafat politik adalah ilmu yang menuntut pemikiran dan tindakan yang praktis serta konkrit terutama berhubungan dengan negara. Baginya, negara harus menduduki tempat yang utama dalam kehidupan penguasa. Negara harus menjadi kriteria tertinggi bagi akivitas sang penguasa. Negara harus dilihat dalam dirinya tanpa harus mengacu pada realitas apa pun di luar negara.

Senin, 20 Mei 2013

Menggugat Politik Militer Indonesia

 Oleh Arman
Pengantar
Gerakan 1998 berhasil menggulingkan Soeharto, namun gagal membendung terkonsolidasinya kembali kekuatan militer. Militerisme tetap hidup aman, secara ekonomi maupun politik. Tak heran bila praktek-praktek premanisme juga tumbuh subur karena aparat kepolisian, militer, beserta pemerintah, membiarkan keberadaannya. Demikian pula pemerintah, tak pernah sanggup tegas pada kekuatan militer, mereka tunduk sepenuhnya. Sehingga menjadi wajar jika para jendral pelanggar HAM tidak tersentuh oleh hukum dan terus leluasa ikut pemilu dan mencalonkan diri jadi presiden, menjadi orang-orang pertama di belakang pendirian partai yang ikut pemilu, dst.
Serangan beberapa anggota Kopassus ke Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta, menembak. 4 orang tahanan tak bersenjata, adalah tindakan sabotase hukum yang keji. Dalam kaidah perang saja, tidak diperbolehkan pembunuhan/penembakan terhadap yang sedang ditawan dan tidak bersenjata. Demikian pula yang baru saja terjadi di Polres Poso, Sulawesi Tengah, seorang tahanan perempuan diperkosa oleh Brigadir kepala dan dua orang rekannya.  Inilah dua potret tentara dan polisi Indonesia yang tidak banyak bedanya, walau berlagak bersiteru dalam wacana.
Selamat dari Reformasi
Politik militer Indonesia, sebagai fondasi Orde baru, tidak pernah mati terkubur meski Soeharto jatuh. Salah satu amanat reformasi, sekaligus syarat agar konsolidasi demokrasi bisa berjalan, adalah lepas dari cengkeraman militer dengan menuntut penghapusan Dwi Fungsi ABRI, termasuk pembubaran struktur teritorial militer (komando teritorial). Atas desakan gerakan rakyat, dikeluarkanlah TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa Dwi Fungsi ABRI telah berakibat pada penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI, sehingga demokrasi tidak berkembang di Indonesia. Namun, pada faktanya Dwi Fungsi ABRI masih dibiarkan. Penopang utamanya, komando teritorial, tidak dibubarkan malah ditambah menjadi 12 komando teritorial sejak tahun 1998.
Pembiaran pelanggaran HAM masa lalu inilah yang kemudian berujung pada pengulangan kembali pelanggaran – pelanggaran HAM berikutnya. Impunitas (kekebalan hukum) itu mencapai puncaknya ketika para Jendral pelanggar HAM menolak diperiksa oleh KOMNAS HAM terkait peristiwa Semanggi I, II, Trisakti dan penyelidikan kasus perkosaan perempuan Tionghoa Mei ’98. Para Jendral ini beralasan tim penyidik KOMNAS HAM tidak berwenang melakukan penyelidikan, yang kemudian diperkuat dengan keputusan DPR RI bahwa tidak ada pelanggaran HAM dalam peristiwa–peristiwa tersebut. Akhirnya, proses Pengadilan HAM sebagaimana diputuskan dalam Undang- Undang No.26/2000, tidak pernah terjadi.
Sehingga Peradilan Militer tetap menjadi yang utama sebagai mekanisme untuk menghukum para tentara pelaku pelanggaran. Peradilan Militer yang tertutup menyebabkan tidak adanya kontrol publik atas proses peradilan yang berlangsung. Salah satu contohnya adalah  proses peradilan terhadap terdakwa (Kopassus) pembunuh Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidum Dewan Papua (PDP) Papua yang mati ditembak 11 November 2001. Seluruh terdakwa diadili di pengadilan militer Surabaya dan terbukti bersalah melakukan pembunuhan, namun justru dihukum ringan pada tahun 2001. Ironisnya, mereka justru diberi gelar Pahlawan oleh KSAD. Begitu halnya dengan keterlibatan anggota militer dalam pembunuhan Boss ASABA Group yang juga diperiksa melalui mekanisme peradilan militer. Tidak adanya hukuman atau sanksi yang berat di dalam tubuh peradilan militer, atau bahkan apakah hukuman benar-benar diberikan, memunculkan pertanyaan[1]. Belum lagi dengan kasus pelanggaran HAM masa lalu seperti pembantaian 1965, pembunuhan Marsinah, Udin, hingga pemaksaan penggunaan kontrasepsi pada perempuan. Bila demikian, bagaimana militer bisa ‘berhenti’ melakukan pelanggaran HAM?
Berikut malah para jendral pelanggar HAM yang mendapatkan promosi jabatan penting. Sjafrie Sjamsoedin yang sebelumnya menjabat Pandam Jaya ketika terjadi tragedi Trisakti dan Mei 1998, justru dipromosikan menjadi Kapuspen TNI di Mabes TNI. Begitu juga dengan AM. Hendropriyono yang diangkat menjadi Kepala BIN (Badan Intelejen Negara) padahal pada tahun 1989 Hendro memimpin operasi militer di Talang Sari–Lampung yang menimbulkan banyak korban. Kini, masih sering kita lihat praktek-praktek represifitas terhadap kaum tani, rakyat Papua, buruh yang sedang aksi dan lain-lain, atas nama ‘keamanan nasional’. Semakin dilindungi ketika disahkannya UU Anti Terorisme, UU Intelejen, dan berikutnya RUU Kamnas dan Ormas. Dari sini, sesungguhnya tampakjelas dimana pemerintah kita berdiri: mengamankan politik militer masa lalu dan sekarang.  Apalagi Presiden SBY sendiri adalah bagian langsung dari struktur politik Orde Baru dan militer serta diduga keras terlibat peristiwa 27 Juli 1996.
Kilas Balik Militer Indonesia
Besarnya kekuatan militer Indonesia bukan jatuh dari langit. Ia lahir dari sejarah pembentuk wataknya saat ini; keji, serakah dan brutal. Dalam sejarahnya, militer Indonesia adalah hasil dari didikan KNIL ((Koninklijk Nederlands Indisch Leger/Tentara Hindia Belanda Kerajaan Belanda) dan PETA (Kyōdo Bōei Giyūgun/Tentara Sukarela Pembela Tanah Air). Namun yang paling dominan adalah didikan dari PETA. Dalam proses revolusi nasional, tentara didikan KNIL terkikis dari didikan profesionalitas tentara versi barat yang mestinya tidak turut campur dalam persoalan politik dan tunduk pada kekuasaan sipil. Lemahnya elit politik nasional dalam berhadapan dengan penjajah Belanda dianggap tidak sanggup menghadapi politik penjajah, tidak tegas, suka berlama-lama bertengkar (berdebat). Karenanya tentara harus terlibat dalam politik, mengambil jalan tengah, atau mengambil dua peran sekaligus, yakni berperan dalam pertahanan negara dan sosial politik. Sementara, tentara didikan Jepang (PETA) dilatih dengan disiplin baja dengan nasionalisme sempit dan fasis. Mereka mengimani bahwa tentara harus menguasai sipil.
Selain tentara didikan KNIL dan PETA, sebenarnya ada laskar-laskar rakyat yang dibentuk oleh rakyat, baik yang secara terbuka maupun bawah tanah. Laskar-laskar rakyat inilah yang sebenarnya memiliki muatan demokratik karena bangkit dari kekuatan rakyat sendiri. Sayang, laskar rakyat ini disingkirkan oleh pemerintah melalui Hatta dengan mengeluarkan kebijakan RERA (Red Proposal dan Rasionalisasi) pada tahun 1949. Kebijakan ini sendiri merupakan kebijakan pesanan Amerika Serikat. Dari sinilah, karakter kerakyatan dari tubuh tentara dihabisi. Tinggallah kini tentara didikan para penjajah yang teguh kemudian dengan konsep Dwi Fungsi ABRInya.
Tahun 1952-1959 adalah periode dimana pemberontakan-pemberontakan terjadi di berbagai daerah di luarJjawa karena merasa pemerintah pusat tidak adil. Pemberontakan ini dimotori oleh para panglima TNI di daerah. Situasi pun semakin parah karena pemberontakan di berbagai daerah ini didukung oleh CIA. Maka, kabinet Ali Sastro Amidjojo memutuskan situasi darurat perang yang memberi ruang bagi militer untuk mengambil alih tampuk kekuasaan. Pemberantasan pemberontakan daerah oleh militer ini (melalui kebijakan situasi darurat negara) kemudian membuat militer semakin yakin bahwa elit politik sipil tidak becus mengurus negara. Dalam situasi darurat ini pula terjadi nasionalisasi perusahaan milik Belanda yang dipelopori oleh buruh yang berafiliasi ke PKI dan PNI. Namun kemudian perusahaan yang dinasionalisasi tersebut diserahkan oleh Presiden Soekarno kepada militer untuk dikelola. Tentu saja ini menjadi pintu gerbang masuknya militer dalam lingkup bisnis yang menjadikannya sebagai pemilik modal besar di Indonesia. Demikianlah hingga semakin kuat posisi militer baik di dunia politik maupun ekonomi.
Secara politik, sejak fase 1960-an, kedudukan militer terus menguat. PKI adalah salah satu saingan terberat militer. Sementara secara ekonomi, militer semakin meraja. Setelah diberi wewenang untuk mengelola perusahaan yang telah dinasionalisasi, para petinggi militer mengembangkan perusahaan-perusahaan baru, baik di bidang perkebunan, pertambangan, maupun perbankan. Dari sumber inilah, militer memperoleh dana untuk membiayai institusi militer guna memperkaya diri dan jajarannya sendiri.
Pembantaian 1965 adalah puncak dari kekuatan tentara menghabisi gerakan rakyat Indonesia. Mereka membantai rakyat yang tidak bersenjata, membuang rakyat ke tahanan tanpa proses peradilan, memisahkan rakyat dari keluarganya dan menyisakan trauma teramat dalam dari generasi ke generasi. Militer berhasil mengambil alih kekuasaan, menghabisi gerakan rakyat, dan menancapkan kekuatan modal asing di bumi pertiwi. Inilah hadiahnya: UU PMA disahkan setelah sebelumnya Freeport menandatangangi kontrak karya pertama di tengah rakyat Papua yang saat itu belum pun berintegrasi dengan Indonesia.
Berdasarkan penelitian ICW, terdapat tiga jenis bisnis militer. Pertama, bisnis formal dimana TNI terlibat dalam bisnis secara resmi lewat koperasi dan yayasan. Bisnis dalam bentuk yayasan pun struktur pengurusnya mengikuti struktur komando militer. Bisnis dalam bentuk yayasan ini dimiliki militer dari instansi militer paling atas hingga bawah, seperti KODAM yang memiliki yayasan sendiri.  Begitu juga dengan bisnis dalam bentuk koperasi. Kedua, bisnis informal, dimana militer tidak terlibat sebagai institusi namun secara individual. Individu militer yang sudah tidak aktif lagi atau pensiun mendirikan perusahaannya sendiri, padahal hal itu sudah mereka rintis semenjak menjabat dalam institusi militer. Contohnya adalah Kelompok Usaha Nugra Santana milik Letjen TNI Purn.Ibnu Sutowo, Kelompok Usaha Krama Yudha milik  Brigjen TNI Sjarnoebi Said), dll. Ketiga, criminal economy (ekonomi kriminal),  yang berupa perlindungan bagi pelaku bisnis gelap, yaitu bisnis narkoba, perjudian besar, jaminan keamanan perusahaan, dll. Ketiga jenis bisnis militer tersebut tidak terpisah satu sama lain dan saling berjalin menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang besar, seiring dengan besarnya kekuasaan mereka di bidang politik.
Jangan Titipkan Dendeng Pada Anjing
Dari pemaparan di atas, jelas militer dan elit politik tidak bisa diharapkan untuk memberi keadilan pada rakyat. Kedua kekuatan tersebut adalah kekuatan yang setia pada dirinya sendiri dan pada para tuan modal yang memberi makan mereka. Maka bila kita hendak mengenyahkan militerisme dan kapitalisme yang memeliharanya, tidak bisa kita sekutukan perjuangan rakyat dengan kekuatan militer dan elit politik beserta partai–partai politiknya. Bila tidak, maka perjuangan rakyat kembali dihancurkan sebagaimana pada tahun 1998. Ketika rakyat menyabung nyawa demi runtuhnya Orde Baru, para elit politik tersebut justru bersembunyi di Ciganjur dan bersepakat bahwa Dwi Fungsi ABRI cukup dihilangkan 6 tahun ke depan saja. Mereka pula yang mengantarkan kekuatan militer kembali di panggung politik.
Menghadapi  kekuatan penopang kapitalisme ini jelas tidak mudah. Gerakan 1998 memang telah membangun kesadaran dalam hal metode perjuangan seperti berorganisasi, mogok, aksi massa, namun belum dapat memberi referensi untuk membangun sistem pemerintahan  baru dari, oleh, dan untuk rakyat. Gelombang aksi massa tersebut tidak bisa berbuah menjadi dewan-dewan rakyat sebagai embrio pemerintahan rakyat. Maka, perjuangan ke arah pembentukan pemerintahan rakyat yang sosialis harus dirintis lagi dengan membagun alat-alat politik rakyat dan Partai Sosialis. Sebuah alat perjuangan alternatif bagi rakyat, yang tidak hanya bicara soal upah murah, penggusuran, pendidikan mahal, namun lebih dari itu: membangun masyarakat sosialis.
Salah satu tugas utama Partai Sosialis ini adalah terus mengembalikan memori rakyat tentang peran politik militer dalam kapitalisme Indonesia dan membangun pergerakan untuk membuka ruang demokrasi, dengan menghancurkan politik tentara, menyeret para Jenderal ke peradilan HAM. Bila ini tidak bisa kita menangkan, maka perjuangan untuk sosialisme akan semakin sulit dimenangkan.*
 Catatan:
Tulisan ini pernah dimuat di buletin Kibar Juang. Bila berminat memiliki edisi cetaknya silakan menghubungi redaksi: kibarjuang@yahoo.com
Referensi
1. Bisnis Militer Mencari Legitimasi, oleh ICW 
2. Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia oleh KONTRAS,2003
3. Sang Pandai Api (Memimpin Kebangkitan Kesadaran Massa) oleh Danial Indra Kusuma
4. Tahukah Kamu Ini Alasan Mengapa Soekarno Harus Disingkirkan oleh Asvi; http://www.apakabardunia.com/2013/02/inilah-alasan-mengapa-bung-karno-harus.html
5. Sudah Saatnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001 Dijalankan oleh Asyar; http://asyharstf08.wordpress.com/2012/02/17/sudah-saatnya-dekrit-presiden-23-juli-2001-dijalankan/
6. Sulitnya Menjauhkan TNI dari Politik; http://www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=580&coid=3&caid=3&gid=2

7. Manifesto Tikus Merah; http://tikusmerah.com/?page_id=211
Walikota termuda di dunia muda cantik, cerdas dan berani mengambil tanggung jawa yang besar.

Senin, 13 Mei 2013

Kerinduan Yang Tak Kunjung Usai

Walau aku tau bahwa kita tidak akan mungkin bisa bertatap muka tapi cinta ini tidak akan pernah aku serahkan kepada mereka meski diri ini harus dihina. Karena engkaulah yang membuat jiwa ini hidup dalam lautan kehidupan yang nyata. Aku rela engkau membagi cinta ini dan aku ingin cinta mu padaku tidak akan pernah hilang sampai kapanpun, ijinkan aku mendekatimu meski itu tidak akan mungkin demi mengobati rasa ini.

Aku tidak ingin merasa cemburu karena mereka mendekatimu dan berusaha merayumu, karena kutau ketika aku cemburu padamu maka itu akan membuatku semakin menjauh darimi dengan sikap angkuh ku padamu, sungguh ketika itu terjadi aku tak tau lagi mau kemana dengan kehidupan ini.

Sungguh aku tak lebih dari seseorang yang berusaha mencintaimu tanpa mengharap balasan apapun darimu karena mengharap balasan darimu sama saja aku ingin menduakan mu....Oh cintaku..... 

Bersambung dulu bro....sakit kepala...

Minggu, 12 Mei 2013

(landasan gerakan membelah kaum mustadlafin)
Yang mampu saya tankap dalam pembahasan buku teologi kiri ini,saya aka mencoba memaparkan kembali.Dalam pembahasan buku teologi kiri ini karangan dari dr.abdul munir mulkhan mencoba menjelaskan seharusnya gerakan islam di perbaharui sesuai dengan kondisi sosial yang ada di era modern ini,sehingga islam tidak di lihat hanya dogma akhirat yang di pahami sebagian orang,untuk menghindari marjinalisasi dalam ruang sosial,secara historis dalam buku ini menceritakan adanya pertarungan secara politis internal santri yang di baginya kedalam gerakan tradisional dan modern,gerakan modern di mulai dari seorang aktifis hmi,yang perna menjabat ketua umum pengurus besar selama dua priode yaitu nurcholis majid yang sangat kental dengan pernyataan islam yes,partai islam no,di kenal gerakan sekularisme,dari gerakan tersebut nurcholis ingin membangun sebuah imets pablik bahwa masyarakat harus menerima pancasila sebagai ideologi bangsa,yang menekankan rekonstruksi pemikiran dengan strategi modernisasi diartikan kedalam rasionalisasi dan sekulerisasi,tetapi di sisi lain nurcholis curigai telah melakukan gerakan kebergandaan,dimana menjadikan islam sebagai esensi dalam gerakan tetapi menolak partai islam,bedah lagi bagunan paradigma seorang toko muhammadiyah sebagai kelompok islam modernis,yaitu amin rais yang menekankan pada integrasi dalam berbagai aspek kehidupan pada konteks tauhid,dan terakhir gerakan yang di anggap kontropersial memberikan pengaruh sangat besar terhadap kelompok santri dilakukan seorang presiden ke 4 di negeri ini abdul rahman wahid,memberikan warna baru dalam kelompok yang di hukumi tradisionalis NU,yang menjadikan legitimasi religius berdasarkan hukum piqih dalm seluruh struktur kehidupan bernegara,sosial,budaya,ekonomi